Belakangan ini, makin banyak bermunculan kasus korupsi yang terbongkar dengan jumlah sangat fantastis.
Publik dikagetkan dengan kasus kasus korupsi besar seperti di Pertamina dan berbagai instansi lain.
Kini, masyarakat berharap kepada Presiden Prabowo dan aparat hukum (APH) untuk benar-benar serius menindak secara tegas para koruptor tersebut, sehingga kedepan tata kelola keuangan negara semakin baik.
Terkait hal ini, presiden berulang kali menyatakan sikap tegasnya bahkan belum lama ini menyinggung secara gamblang bahwa potensi terjadinya korupsi kerap pada saat pengadaan barang dan jasa setiap tahun anggaran berjalan.
Dikatakannya, bahwa saat pelaksanaan tender pengadaan barang dan jasa justru terjadi pengaturan, kolusi, persekongkolan antara pihak pengguna barang dan pihak penyedia barang dan jasa.
Artinya, menurut presiden, bahwa sebelum tender pun sudah diatur calon pemenang. Nah, dalam pengaturan seperti ini, sudah tentu ada deal-deal tertentu terkait fee, upeti, suap atau gratifikasi (korupsi).
Nah, publik menginginkan komitmen pemerintah untuk sungguh-sungguh melakukan pemberantasan korupsi ini.
Sebagaimana telah dipublis oleh media baru-baru ini, adanya indikasi kuat terjadinya korupsi di Kemenkes pada saat pengadaan barang, alat kesehatan pada tahun anggaran 2023 lalu.
Pengadaan barang tersebut yaitu alat antropometri. Alat ini digunakan untuk mengetahui apakah bayi (balita) mengalami atau terkena stunting.
Stunting merupakan suatu gangguan terhadap pertumbuhan tinggi badan anak balita yang lebih rendah dari rata rata seusianya. Hal ini bisa terjadi akibat faktor kurangnya asupan nutrisi atau gizi.
Untuk mengetahui sunting tersebut, maka pemerintah merencanakan adanya ketersediaan alat ini pada setiap posyandu, puskesmas, rumah sakit dan unit unit pelayanan kesehatan lain di seluruh Indonesia.
Sektor kesehatan ini menjadi salah satu fokus utama dalam program pasangan Prabowo dan Gibran ketika masa kampanye pilpres tahun lalu.
Untuk mewujudkan peningkatan kesehatan masyarakat, pada tahun anggaran 2023, tepatnya bulan Agustus, Kemenkes melakukan pengadaan alat tersebut lewat Biro Pengadaan Barang dan Jasa (BPBDJ).
Panitia pengadaan di BPBDJ mengundang perusahaan/distributor atau penyedia lainnya untuk mengajukan penawaran harga. Juga ditetapkan berbagai peraturan bahwa produk atau alat antropometri yang ditawarkan harus memiliki TKDN diatas 42,5 persen. Artinya diutamakan produk buatan pabrikan dalam negeri.
Ada sejumlah perusahaan yang mengajukan penawaran harga. Salah satu di antaranya adalah PT. Delta Mandiri Abadi (DMA). Harga yang ditawarkan PT. DMA sebesar Rp.5.150.000 per set sesuai dengan harga pasaran yang dicantumkan dalam e-Katalog.
Setelah penawaran dari beberapa perusahaan diterima, lalu dilakukan pemeriksaan administrasi, teknis dan negosiasi. Tetapi kemudian, tim BPBDJ menyampaikan kepada para peserta untuk merubah harga penawaran dan di kisaran Rp.8. 000.000 per set.
Lantas, PT.DMA meskipun sangat heran dan ada rasa keengganan untuk menaikkan harga (mark up), namun pada akhirnya tetap menawarkan harga sebesar Rp.7.900.000 pers set dan harga penawaran inilah menjadi harga penawaran terendah.
Pengadaan tahap pertama tersebut menetapkan beberapa perusahaan penyedia dengan harga yang sama, Rp 7.900.000 per set, mengacu kepada harga kontrak PT Delta (harga terendah) dengan jangka waktu 3 bulan yaitu Agustus hingga Oktober.
Dengan jangka waktu ini, dirasa cukup waktu. Artinya tidak diperlukan ketersediaan stok barang oleh penyedia karena dinilai masih cukup waktu memproduksi selama 70 hari sebelum akhir tahun (Desember 2023).
Perusahaan tersebut adalah PT BBR/DKM, PT.EI/PT. RNI, PT.BM, PT. IRRA, PT. GUM/PT.TSS, PT.NSU/PT.DPU, PT. SMW/PT. MSU/PT. EJS.
Pada tanggal 3 Nopember 2023, tim dari BPBDJ yang dipimpin oleh Rony Ferdinandus melakukan visitasi (kunjungan) ke beberapa pabrik sekaligus merupakan bagian dari tahapan proses pengadaan antropometri Kit tahap ke dua 2 ke PT. DTI, PT. MJM, PT. BIM, PT. BM/IRRA, PT. IDS dan beberapa pabrikan lainnya.
Kemudian pada 10 Nopember, Direktur Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Dr. Lovely Daisy MKM meminta perubahan spesifikasi (spek) barang kepada BPBDJ dan dilakukan perubahan.
Kemudian Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Afriansyah melakukan pemesanan barang kepada penyedia pemegang kontrak.
Untuk diketahui, bahwa apabila PPK menerbitkan surat pesanan barang tanggal 14 Nopember, maka dipastikan tidak ada satupun penyedia yang mampu melaksanakannya hingga tanggal 31 Desember 2023, kecuali perusahaan tersebut sudah memiliki stok barang yang sudah disiapkan jauh sebelumnya karena adanya hubungan kedekatan atau pengaturan dengan pejabat terkait di Kemenkes.
Ada kekhawatiran bagi setiap penyedia untuk mengadakan stok dengan jumlah besar, sebab apabila pemerintah pusat ataupun daerah tidak membelinya, berdasarkan aturan Kemenkes bahwa barang kadaluarsa harus dimusnahkan.
Akibat tidak adanya ketersediaan barang hingga akhir tahun 2023, maka pelaksanaannya tentu dilakukan adendum hingga tahun 2024.
Untuk diketahui, bahwa pada tahun 2024, PT Delta Mandiri Abadi (DMA) tetap memberlakukan harga antropometri sebesar Rp.5.150.000 per set sesuai dengan yang sudah ditayangkan di e-Katalog sektoral PT Delta Mandiri Abadi (https://e-katalog.lkpp.go.id/katalog/48486589/type=general).
Maka, berdasarkan paparan diatas, bahwa korupsi sangat terindikasi kuat telah terjadi sebesar Rp.295.903.162.694.
Anggaran yang disediakan sebesar Rp.850.052.176.400, harga jual pasar sebesar Rp.5.150.000. Sedangkan harga pembelian Kemenkes sebesar Rp.7.900.000. Maka terdapat selisih kemahalan harga sebesar Rp.3.750.000.
Saat ini LSM Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK ) sedang melakukan pendalaman sekaligus berdiskusi dengan tim hukumnya guna melaporkan kasus ini ke KPK serta mengirim surat ke Kemenkes dan ke Presiden agar memeriksa Kepala Biro BPBDJ saat itu, Zulvia Dwi Kurnaini, PPK Afriansyah, serta seluruh pejabat terkait lainnya. ***
Comments