0

JAKARTA, INDONEWS – Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Barisan Relawan Jalan Perubahan (DPP Bara JP) berasama Staf Khusus (Stafsus) Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Bidang Hukum Adat, Dr. M. Adli Abdullah, S.H., MCL., menggelar Diskusi Publik, di Lamban Kuning, Bandar Lampung, Sabtu (13/2/2022).

Diskusi publik mengusung tema “Konflik Agraria, Tanah Adat dan Solusinya”. M. Adli Abdulah sendiri menjadi pembicara dalam acara tersebut. Narasumber lainnya, ialah tokoh masyarakat dan adat Lampung Dang Ike Edwin, Wakil Ketua Komite 2 DPD RI DR. H. Bustami Zainudin, dengan moderator Wasekjen DPP Bara JP dr.  Really Reagen.

Reagen menyampaikan bahwa rekomendasi dari peserta FGD adalah, agar HGU ditertibkan dengan metode ukur ulang seluruh HGU yang ada.

“Ya kita minta pak presiden cabut HGU di Lampung yang bermasalah,” ujarnya.

Sementara Adli Abdulah menjabarkan perlindungan dan pengakuan hak atas tanah masyarakat hukum adat. M. Adli Abdulah memaparkan Konstitusionalitas dan Konsekuensionalitas Pengakuan Masyarakat Hukum Adat Dalam sesuai UUD NKRI 1945.

“Pasal 18B Ayat (1) UUD 1945: Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang contoh khusus Papua : UU No. 2 Tahun 2021 Tentang Perubahan dari Undang-undang No. 18 Tahun 2001,” terang Adli Abdullah.

Ditambahkannya, Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945: Negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionilnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam undang-undang.

Adli juga memaparkan pengaturan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya (Ulayat) dalam perspektif teori perundang-Undangan

“Menyangkut tatacara pengakuan masyarakat hukum adat memang tidak perlu diatur dalam UU tersendiri ini. Norma hukum yang terkait dengan tata cara pengakuan masyarakat hukum adat pada hakikatnya hanya menegaskan mekanisme prosedural (hukum formalnya),” jelasnya.

BACA JUGA :  Kepala BPN Kota Depok Ungkap Modus Kejahatan Pertanahan

Sedangkan mengenai kriteria atau parameter atau ukuran suatu masyarakat disebut hak tradisionil masyarakat hukum adat hanya merupakan indikator yang harus diperhatikan manakala suatu masyarakat dinyatakan sebagai masyarakat hukum adat. Jika indikatornya sudah ada maka tidaklah perlu diatur secara rigid, sebab frasa “mengakui” dan “menghormati” dalam Pasal 18B ayat (2) UUD NRI 1945 telah jelas menunjukkan eksistensinya, ketentuan konstitusi telah mendeklarasikannya.

“Dalam perspektif antRopologi hukum, dirumuskan bahwa masyarakat hukum adat adalah: sekumpulan warga di suatu tempat, memiliki kesamaan-kesamaan hubungan teritorial (asal usul tanah dimana mereka lahir) dan hubungan geneologis (asal usul keturunan, kekerabatan), memiliki tujuan hidup antara lain untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai dan norma, diberlakukan suatu peraturan hukum adat tidak tertulis tetapi mengikat warganya, dipimpin oleh kepala-kepala adat yang kharismatik bersifat turun temurun,” katanya.

“Kemudian tersedianya tempat dimana kekuasaan dapat dikoOrdinasikan (keraton atau kesultanan, rumah gadang, rumah banjar); dan tersedianya lembaga untuk menyelesaikan sengketa/konflik antara warganya, baik antara suku sesama warga negara maupun sesama suku berbeda warga negara,” tambah Adli Abdullah.

Pria yang digadang sebagai calon Pj. Gubernur Aceh ini juga memaparkan, Masyarakat Hukum Adat Dalam Undang-undang Cipta Kerja.

“Masyarakat Hukum Adat adalah sekelompok orang yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu adanya ikatan pada asal usul leluhur (Paguyuban), hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah, sumber daya alam,  memiliki pranata pemerintahan adat, dan tatanan hukum adat di wilayah adatnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” ungkapnya.

“Selanjutnya masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya (dalam hal kehutanan) keberadaannya dikukuhkan dengan Peraturan Daerah wilayah adat dalam UUCK,” tuturnya.

BACA JUGA :  FNKJ Beberkan Dampak Buruk Rekayasa Restrukturisasi Polis

Ia menuliskan, Pasal 22 (1) Kewajiban memenuhi Perizinan Berusaha terkait pemanfaatan di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2) dikecualikan bagi Masyarakat Hukum Adat di wilayah kelola Masyarakat Hukum Adat. (2) Masyarakat Hukum Adat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pengakuannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 17 (1) Pejabat yang berwenang dilarang menerbitkan Perizinan Berusaha Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. (2) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan dalam hal telah dicapai persetujuan antara Masyarakat Hukum Adat dan Pelaku Usaha Perkebunan mengenai penyerahan Tanah dan imbalannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1).

Pasal 103 setiap pejabat yang menerbitkan perizinan Berusaha terkait Perkebunan di atas Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak 5 milyar.

Pasal 22 (1) Pelaku Usaha yang menggunakan Lahan hak ulayat yang tidak melakukan musyawarah dengan masyarakat hukum adat pemegang hak ulayat untuk memperoleh persetujuan dikenai sanksi administratif penghentian sementara kegiatan, pengenaan denda administratiF, paksaan Pemerintah, pembekuan Perizinan Berusaha, pencabutan Perizinan Berusaha.

Hak Atas Tanah Masyarakat Hukum Adat Dalam Undang Undang Cipta Kerja

Dari sekitar 30 undang-undang yang mengatur masyarakat adat, Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja (UUCK 11/2020) “mengatur ulang” UU Cipta Kerja mengukuhkan legal formal pengakuan masyarakat adat.

Menurutnya, Pengaruh UU Cipta Kerja terhadap norma hukum yang mengatur kepentingan masyarakat adat dikategorikan sebagai perubahan yang cukup berarti dan bertahannya pengaturan yang melindungi kepentingan masyarakat hukum adat.

BACA JUGA :  Putra Daerah, Calon Bupati Charles Donerzan Sirait Ingin Wujudkan Toba Tarulibe

Hak Ulayat Sebagai Obyek Pengadaan Tanah

Pasal 8 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang semula berbunyi, “Pihak yang Berhak dan pihak yang menguasai Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum wajib mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini”.

Ganti Kerugian atas tanah hak ulayat diberikan dalam bentuk tanah pengganti, pemukiman kembali, atau bentuk lain yang disepakati oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan.

“Dengan demikian UU Nomor 2/2012 semula tidak mengatur secara spesifik apa yang disebut Obyek Pengadaan Tanah. Dalam UU Cipta Kerja tanah ulayat/tanah adat menjadi salah satu Obyek Pengadaan Tanah itu,” jelas Adli.

Tim Identifikasi Penguasaan Pemilikan, Penggunaan, dan pemanfaatan Tanah (IP4T) Kepala BPN sebagai Ketua Tim Identifikasi Penguasaan Pemilikan, Penggunaan, dan pemanfaatan Tanah (IP4T) di dalam kawasan hutan, yang beranggotakan unsur dinas kabupaten/kota, unsur balai pemantapan kawasan hutan, unsur dinas/badan kabupaten/kota yang menangani urusan di bidang tata ruang, camat dan lurah setempat atau dengan sebutan lain.

“Tugas utama Tim IP4T adalah untuk menghasilkan analisis berupa rekomendasi yang melampirkan peta P4T Non-kadastral dan Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (SP2FBT). Hasil analisa tersebut diserahkan kepada Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota untuk diproses lebih lanjut,” paparnya.

Di akhir pembicaraannya, M. Adli Abdullah menyebutkan 3 hal penting dalam agraria, yaitu subjek, objek dan penguasaan.

Sementara poin-poin yang disampaikan di dalam diskusi antara lain Masyarakat Adat Lampung masih ada, namun perlu dilakukan penegasan melalui peraturan daerah tentang kelembagaan masyarakat adat tersebut, seperti yang dilakukan di Sumatera Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta, Papua dan daerah lainnya. (Bint)

You may also like

Comments

Comments are closed.

More in Headline