0

Oleh: Rahmadi, SE., M.Ak

Sebentar lagi, semester ganjil akan segera dimulai, menandai babak baru dalam perjalanan akademik di Perguruan Tinggi.

Di seluruh kampus, walaupun mahasiswa sedang libur semester akan tetapi civitas akademika tengah disibukkan dengan berbagai persiapan untuk memastikan perkuliahan ke depan berjalan lancar.

Mulai dari penyusunan kurikulum, penjadwalan perkuliahan, hingga pembagian dosen wali semua aspek penting ini menjadi fokus utama untuk menyambut mahasiswa baru maupun yang melanjutkan studi mereka.

Nah berkaitan dengan dosen wali, sedikit catatan saya dalam sebuah workshop dosen wali yang diselenggarakan oleh Direktorat Sumber Daya Manusia Telkom University beberapa waktu yang lalu, data mengungkapkan temuan mengejutkan dari berbagai penelitian dan survei terkait kondisi mental health mahasiswa.

Sekitar 19 persen anak muda Indonesia pernah memiliki keinginan untuk bunuh diri, dan 45 persen di antaranya mengaku pernah melukai diri sendiri.

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terpadat keempat di dunia (sekitar 270 juta jiwa), namun hanya memiliki sekitar 800 psikiater (0,3 psikiater per 100.000 penduduk), 450 psikolog, dan 48 fasilitas kesehatan jiwa (sumber: Our Better World, 2019).

Data dari Survei nasional American College Health Association (ACHA) pada Musim Semi 2023 terhadap lebih dari 55.000 mahasiswa sarjana mengungkapkan bahwa sekitar 76% mengalami tekanan psikologis sedang hingga serius.

  • Lebih dari sepertiga siswa (36%) telah didiagnosis menderita kecemasan.
  • 28% telah didiagnosis menderita depresi.
  • 8% telah didiagnosis menderita trauma atau gangguan terkait stres, seperti PTSD.
  • Sejumlah besar siswa juga menangani diagnosis kesehatan mental lainnya.
BACA JUGA :  Opini: Amanah Undang-undang, Pj Gubernur Aceh Harus Tetap Ada

Meski banyak dari mereka mengalami gangguan kesehatan mental, prestasi akademik mereka tetap tergolong tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa di balik senyum dan prestasi, banyak mahasiswa yang tengah berjuang melawan tekanan mental yang tidak terlihat.

Mahasiswa zaman sekarang memiliki keahlian yang luar biasa dan mampu melahirkan inovasi-inovasi brilian. Namun, tantangan terbesar mereka bukan hanya dalam hal akademik, tetapi juga dalam menjaga keseimbangan mental di tengah tuntutan yang semakin kompleks.

Nah peran dosen wali di sini sangat dibutuhkan bagi mahasiswa. Dosen wali perlu membantu kendala mahasiswa dalam bidang akademik dan non akademik.

Menjadi pendengar yang baik, motivator, penyemangat serta menjadi jembatan bagi mahasiswa untuk mengubungkan dengan orang yang tepat dalam menghadapi permasalahannya.

Walaupun ada isu yang beredar ditengah-tengah perbincangan dosen wali sekarang tentang fenomena penggunaan isu mental health. Isu ini sebagai alasan untuk menghindari tugas akademik.

Beberapa mahasiswa mungkin merasa terbebani dengan tekanan, dan akhirnya menggunakan mental health sebagai tameng untuk mendapatkan simpati dari dosen agar diberi kelonggaran, bahkan hingga diizinkan tidak mengikuti ujian.

Ini perlu ditelusuri dengan baik agar mahasiswa yang memang benar-benar mengalami masalah mental health dapat ditangani dengan baik pula.

BACA JUGA :  Penegakan Hukum Dipengaruhi Politik

Penyebab masalah mental health di kalangan mahasiswa memang berasal dari berbagai sumber, termasuk lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah, dan pergaulan mereka.

Tekanan dari keluarga dan lingkungan sekitar, biasanya bagi mahasiswa yang berasal dari daerah dan melanjutkan pendidikan di kota besar, dapat menjadi pemicu ekspektasi berlebihan dari diri sendiri maupun dari keluarga dan tetangga di kampung.

Tekanan ini sering kali sulit diatasi, terutama jika dukungan yang diterima kurang memadai.

Dalam situasi ini, peran dosen wali menjadi sangat penting. Dosen wali bukan hanya sebagai pendidik yang memberikan bimbingan akademik, tetapi juga sebagai tempat bagi mahasiswa untuk mengisi ulang energi mereka.

Mahasiswa sering kali menghadapi banyak tekanan di luar lingkungan kampus, mulai dari masalah ekonomi, percintaan, hingga pertemanan.

Ketika mereka merasa kehabisan energi, mereka membutuhkan tempat untuk “men-charge” diri mereka kembali. Jika tempat ini tidak memberikan dukungan yang positif, maka hasilnya bisa merusak mental dan emosi mereka.

Sayangnya, banyak mahasiswa yang enggan menjadikan orang tua, keluarga, atau dosen wali sebagai tempat untuk berbagi masalah mereka.

Mereka takut akan dihakimi atau disalahkan, yang justru akan semakin menguras energi mereka. Oleh karena itu, penting bagi dosen wali untuk bisa menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif, di mana mahasiswa merasa nyaman untuk berbicara dan berbagi tanpa merasa dihakimi.

Selain itu Dosen Wali dan kampus juga perlu menekankan pentingnya mengajarkan kemampuan dasar kepada mahasiswa, seperti berpikir logis dan mengelola kecemasan.

BACA JUGA :  Opini: Untuk Apa Pemekaran Kota Tangerang Tengah?

Kecemasan berlebih sering kali disebabkan oleh overthinking yang didominasi oleh perasaan. Dengan mengajarkan cara berpikir runut dan logis, mahasiswa bisa lebih baik dalam mengatasi rasa cemas yang mereka alami.

Komunikasi yang terbuka antara dosen wali dan mahasiswa juga sangat dibutuhkan. Menyampaikan apresiasi dan menunjukkan bahwa dosen atau orang tua merasa beruntung memiliki mahasiswa atau anak seperti mereka dapat memberikan dorongan positif yang signifikan.

Selain itu, mengajarkan pentingnya kemauan, bukan hanya kemampuan, menjadi kunci dalam mempersiapkan mahasiswa menghadapi dunia kerja.

Setelah mereka lulus nanti di dunia industri, kemauan dianggap lebih penting daripada kemampuan, karena kemampuan bisa dilatih, tetapi kemauan sulit untuk ditanamkan.

Sebagai orang tua dan dosen wali, kita juga harus mampu memberikan izin kepada anak atau mahasiswa untuk mengalami kegagalan. Gagal adalah bagian dari proses belajar, dan dukungan yang tepat saat mereka jatuh akan membantu mereka bangkit dengan lebih kuat.

Dosen wali kini memegang peran yang sangat penting dalam menjaga kesehatan mental mahasiswa, selain mendidik mereka secara akademis.

Dengan pendekatan yang tepat, kita bisa membantu menciptakan generasi penerus bangsa yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga sehat secara mental.

Penulis adalah: Dosen Telkom University

You may also like

Comments

Comments are closed.

More in Opini