0

Oleh: Tetep Bimbing Gunadi

Tahun pelajaran baru kini telah tiba. Pada umumnya orangtua siswa kembali direpotkan bagaimana anak-anak mereka dapat masuk di sekolah yang punya kualitas bagus, tetapi dengan sedikit mengeluarkan biaya.

Untuk menjawab keinginan itu, para orang tua tentunya memilih sekolah negeri alias bukan sekolah swasta. Walau semua sekolah negeri hampir semua jenjang yang sistem penerimaan siswanya diatur pemerintah dengan memakai jalur zonasi (60%), afirmasi (15%), prestasi (20%) dan pindahan (5%).

Sistem zonasi artinya penerimaan siswa berdasarkan jarak atau radius lokasi rumah siswa dengan sekolah.

Afirmasi artinya, penerimaan calon peserta didik yang termasuk dalam keluarga ekonomi tidak mampu dibuktikan dengan minimal memiliki KIP, PKH dan lainnya, jalur afirmasi juga terbuka bagi calon peserta didik yang menyandang disabilitas.

Untuk para peserta didik yang menggunakan jalur prestasi ada dua non akademik dan prestasi akademik. Untuk dapat masuk menggunakan jalur prestasi non akademik, calon siswa harus memiliki piagam atau penghargaan, misalnya penghargaan sertifikat atau piagam pada tingkat internasional, nasional, provinsi, kabupaten/kota yang diselenggarakan oleh lembaga pemerintah atau induk organisasi yang diakui oleh Pemerintah, pada bidang seni, olahraga, keagamaan, dan lainnya.

Adapun prestasi akademik, jalur prestasi adalah proses seleksi masuk sekolah negeri berfokus pada prestasi-prestasi dan pencapaian baik yang sudah didapatkan calon siswa atau mahasiswa pada bidang akademik maupun non-akademik pada jenjang pendidikan disekolah sebelumnya.

Yang terakhir adalah mendaftar masuk sekolah menggunakan Jalur Pindahan atau Jalur Mutasi. Adalah menjaring peserta didik dari mutasi orangtuanya pindah tugas dengan melampirkan SK pindah tugas orangtua minimal 6 bulan terhitung pada saat pendaftaran PPDB, dan anak kandung guru dan pegawai yang bertugas pada sekolah tersebut.

Dengan cara masuk sekolah berbagai jalur akhirnya di setiap satuan unit atau sekolah akan terkumpul para peserta didik dari berbagai kalangan.

BACA JUGA :  Proyek Pengadaan Air Baku Jonggol-Klapanunggal Mangkrak?

Secara global masyarakat sudah mematuhi aturan pemerintah tersebut bagi para calon peserta didik yang tidak memiliki sarat dari ke empat jalur tersebut suka ataupun tidak terpaksa harus memilih sekolah swasta.

Saat tulisan ini saya susun, mereka calon siswa sudah menerima keputusan diterima atau tidak dapat diterima di sekolah negeri. Para siswa yang lulus kini tinggal mengikuti aturan dari calon sekolahnya masing-masing dari mulai persyaratan data siswa hingga administrasi keuangan sekolah.

Para orang tua sibuk mengadakan biaya yang ditentukan sekolah baik mereka yang sudah siap secara materi /biaya atau yang mendadak mencari. Pihak sekolah seakan tidak mau tahu yang jelas saat ini mereka harus membayar administrasi masuk, biasanya awal pungutan administrasi itu dalihnya membayar uang daftar ulang dan harus membeli baju seragam.

Sekolah jual baju seragam ini sering terjadi bahkan hampir setiap tahun pelajaran baru. Padahal sebagian masyarakat sering bertanya mengenai wewenang sekolah untuk menjual seragam atau bahan seragam sekolah.

Terkait dengan seringnya ada pertanyaan tersebut, maka dalam tulisan kali ini saya harus mengatakan apa yang saya tahu. Silahkan buka peraturan pasal 198 PP Nomor 17 Tahun 2010, pemerintah secara tegas melarang setiap kegiatan penjualan seragam dan atribut sekolah di lingkungan sekolah.

Pendidik dan tenaga kependidikan, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang:

  1. Menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan;
  2. Memungut biaya dalam memberikan bimbingan belajar atau les kepada peserta didik di satuan pendidikan;
  3. Melakukan segala sesuatu baik secara langsung maupun tidak langsung yang mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik;
  4. Melakukan pungutan kepada peserta didik baik secara langsung maupun tidak langsung yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BACA JUGA :  Legalisasi “Law As a Tool of Crime” di Penangkapan Wilson Lalengke

Dewan pendidikan dan/atau komite sekolah/madrasah, baik perseorangan maupun kolektif, dilarang:

  1. Menjual buku pelajaran, bahan ajar, perlengkapan bahan ajar, pakaian seragam, atau bahan pakaian seragam di satuan pendidikan;
  2. Memungut biaya bimbingan belajar atau les dari peserta didik atau orang tua/walinya di satuan pendidikan;
  3. Mencederai integritas evaluasi hasil belajar peserta didik secara langsung atau tidak langsung;
  4. Mencederai integritas seleksi penerimaan peserta didik baru secara langsung atau tidak langsung;
  5. Melaksanakan kegiatan lain yang mencederai integritas satuan pendidikan secara langsung atau tidak langsung.

Lebih lanjut dalam Permendikbud Nomor 50 Tahun 2022 pasal 12, diatur bahwa sekolah tidak boleh mengatur kewajiban dan/atau memberikan pembebanan kepada orangtua atau wali peserta didik untuk membeli pakaian seragam sekolah baru.

Ketentuan ini berlaku baik setiap kenaikan kelas dan atau pada penerimaan peserta didik baru.

Pihak sekolah boleh bantu sediakan seragam, prioritas untuk siswa tidak mampu, pengadaan pakaian seragam sekolah merupakan tanggung jawab orang tua atau wali siswa, bukan tanggung jawab sekolah atau madrasah. Aturan ini tertuang dalam Permendikbud No 50 Tahun 2022 pasal 12 ayat 1.

Pada pasal 12 ayat 2 Permendikbud tersebut, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya, sekolah, dan masyarakat maksimal dapat membantu pengadaan pakaian seragam sekolah dan pakaian adat bagi peserta didik.

Sekolah tidak menjual baju atau bahan baju, apalagi mewajibkan membeli di sekolah dan menjadikan pembelian seragam di sekolah untuk persyaratan daftar ulang.

Harusnya, sekolah membantu pengadaan pakaian seragam ini diprioritaskan bagi siswa yang kurang mampu secara ekonomi.

BACA JUGA :  Perlukah Para Siswa Study Tour?

Bila sekolah menjual seragam saja ada larangannya, terlebih harga seragam itu mahal, jauh dari harga pasar, pihak sekolah memasang tarif jauh lebih mahal dan tidak ada rincian harga. Orang tua dan masyarakat sekarang jauh lebih kritis seharusnya harganya pun transparan, sehingga kebijakannya tidak ada efek menimbulkan gaduh , dan tidak ada asumsi bahwa sekolah mencari keuntungan.

Untuk mencegah hal itu sebaiknya kepala sekolah negeri dan jajaran membuat keputusan peraturan mengenai hal apapun yang menyangkut pungutan atau penjualan pada orang tua siswa baik baju seragam dan lainnya harus lebih bijak dan hati-hati.

Jangan lari dari peraturan yang ada libatkan para orang tua siswa dalam membuat kebijakan. Di sekolah ada komite perwakilan para orang tua.

Libatkanlah komite karena dengan melibatkan komite artinya sekolah berunding dengan orang tua siswa dalam membuat kebijakan, dan hal ini akan meringankan beban bila terjadi komplain dari pihak orang tua atau pihak manapun.

Apapun kebijakan pungutan dana itu boleh bila keputusannya hasil musyawarah dengan komite atau orang tua siswa asal dengan tujuannya untuk kemajuan pendidikan bagi para peserta didiknya.

Pihak sekolah jangan semena-mena bahwa sekolah yang sedang ia pimpin adalah sekolah favorit yang banyak digandrungi siswa, sehingga bila orang tua siswa harus begini begitu dengan harga tinggi pasti orang tua sanggup, karena kebanyakan dari para tua siswa pilih sekolah negeri justru mereka orientasinya sekolah negeri yang kualitasnya bagus, tetapi biayanya ditanggung pemerintah sehingga beban biaya yang harus ditanggung para orang tua menjadi ringan.

Besar harapan penulis, semua pihak dengan sadar dan “ikhlas” mematuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena mematuhinya adalah kewajiban kita sebagai warga negara.

Penulis adalah: Praktisi Pendidik dan Kependidikan

You may also like

Comments

Comments are closed.

More in Opini