0
Oleh: Sri Radjasa MBA

Penegakan hukum di Indonesia sedang menghadapi krisis paling serius sejak era reformasi. Bukan hanya aparat eksekutor seperti kepolisian dan kejaksaan yang tercemar, tetapi lembaga kehakiman yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan kini ikut terguncang oleh gelombang pelanggaran etik, skandal suap, dan perilaku menyimpang para hakim.

Krisis ini bukan sekadar persoalan moral individu, tetapi kerusakan sistemik yang mengguncang fondasi negara hukum kita. Di tangan hakim, yang diberi otoritas besar untuk menafsirkan dan menegakkan keadilan, nilai-nilai luhur Pancasila dan konstitusi kini seolah tereduksi menjadi alat tawar-menawar kepentingan. Keadilan, yang seharusnya menjadi tujuan hukum, berubah menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan.

Data Komisi Yudisial (KY) mencatat sejak 2015 hingga 2024 terdapat lebih dari 2.100 laporan pelanggaran etik hakim. Ratusan di antaranya terbukti menerima suap, gratifikasi, atau melanggar kode etik. Deretan kasus yang menyeruak ke publik memperkuat kekhawatiran itu, seperti skandal korupsi CPO di PN Jakarta Pusat, tiga hakim PN Surabaya dalam kasus Ronald Tanur, suap di PN Jakarta Barat dalam perkara korupsi Wali Kota Kediri, hingga kasus asusila dan narkoba di PN Gianyar.

BACA JUGA :  Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Kabupaten Bireuen Berupaya Cerdaskan Anak Bangsa

Belum lagi dugaan suap di PN Jakarta Pusat dan Pengadilan Tinggi Jakarta yang melibatkan pejabat PT Bank UOB Indonesia, yang menyebabkan hilangnya aset nasabah hingga Rp100 miliar.

Dewan Pengawas Mahkamah Agung bahkan harus mengirim surat teguran kepada PN Jakarta Pusat. Ini sinyal bahwa lembaga tertinggi peradilan mulai kehilangan kendali moral atas bawahannya.

Kasus sengketa antara PT WKM dan PT Position menambah deret panjang potret buram itu. Fakta penyidikan Polda Maluku Utara yang menunjukkan adanya pencurian nikel oleh PT Position justru diabaikan majelis hakim PN Jakarta Pusat. Ironisnya, penyidik yang mengungkap kasus malah dinonaktifkan oleh Mabes Polri. Publik pun kembali menyaksikan bagaimana hukum mudah tunduk di bawah tekanan kekuasaan.

Filsafat hukum klasik telah lama mengingatkan, sebagaimana Aristoteles menyebut keadilan sebagai “virtue of virtues” yaitu kebajikan tertinggi dari semua kebajikan. Hans Kelsen menegaskan hukum harus berdiri sebagai sistem norma yang otonom, bebas dari intervensi politik dan ekonomi. Namun realitas kita menunjukkan sebaliknya. Seperti dikatakan Michel Foucault, kekuasaan dan pengetahuan menciptakan “regime of truth” yakni sistem kebenaran yang didefinisikan oleh mereka yang berkuasa. Di Indonesia, “kebenaran hukum” sering kali ditentukan bukan oleh nurani dan fakta, melainkan oleh siapa yang mampu membayar.

BACA JUGA :  Perlukah Para Siswa Study Tour?

Kondisi ini menciptakan krisis kepercayaan publik yang akut. Survei Indikator Politik Indonesia tahun 2024 menunjukkan hanya 36,7 persen masyarakat yang masih mempercayai lembaga peradilan. Laporan Transparency International menempatkan sektor hukum dan peradilan Indonesia sebagai salah satu yang paling rentan terhadap korupsi di Asia Tenggara.

Krisis ini menandakan kegagalan sistem akuntabilitas dan pengawasan di tubuh kehakiman. Struktur lembaga peradilan yang hierarkis, tertutup, dan tidak transparan menciptakan ruang gelap bagi praktik suap dan kolusi dengan kekuatan ekonomi serta politik.

Dalam situasi seperti ini, Presiden tidak cukup menjadi penonton. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk memulihkan integritas hukum. Pembentukan Tim Reformasi Jajaran Kehakiman menjadi langkah strategis untuk memulihkan marwah lembaga peradilan.

Tim ini sebaiknya melibatkan unsur lintas lembaga mulai Mahkamah Agung, Komisi Yudisial, KPK, serta kalangan akademisi hukum dan masyarakat sipil—dengan mandat melakukan audit integritas, reformasi kelembagaan, dan perombakan sistem rekrutmen serta promosi hakim.

Presiden Abdurrahman Wahid pernah mengingatkan, “pembusukan bangsa dimulai ketika hukum dijadikan alat kekuasaan.” Kini, peringatan itu terasa nyata. Bila hukum terus menjadi alat transaksi politik dan ekonomi, maka negara hukum akan kehilangan jiwanya. Momentum ini menuntut keberanian Presiden untuk menegakkan kembali prinsip rule of law, bukan rule by law.

BACA JUGA :  Dugaan Saya Terbukti

Reformasi hukum bukan sekadar mengganti pejabat atau menambah regulasi. Yang lebih penting adalah membangun budaya hukum yang berintegritas, terbuka, dan berpihak pada keadilan substantif. Mochtar Kusumaatmadja pernah berkata, “tanpa keadilan, hukum kehilangan ruhnya.” Jika keadilan terus diperjualbelikan, bangsa ini akan kehilangan arah moralnya.

Kini bola tanggung jawab ada di tangan Presiden. Pembiaran terhadap krisis moral di lembaga kehakiman akan melanggengkan ketidakadilan struktural. Namun langkah berani membentuk tim reformasi dapat menjadi titik balik sejarah hukum Indonesia. Sudah saatnya keadilan tidak lagi menjadi milik mereka yang mampu membeli, tetapi hak bagi setiap warga negara sebagaimana dijanjikan oleh konstitusi.

Penulis adalah: Pemerhati Intelijen

 

You may also like

Comments

Comments are closed.

More in Opini