Oleh: Johnner Simanjuntak
Publik mempertanyakan bukti pengembalian uang denda ke Kas Negara sebesar Rp29 miliar dari PT. Buana Prima Raya (BPR) dan PT. Multy Teknindo Infotronika (MTI) sesuai dengan putusan sidang majelis KPPU pada Desember 2024 lalu.
Kedua perusahaan ini menjadi terlapor I dan II yang berawal dari tender pengadaan alat CRYO-EM, TEM pada tahun anggaran 2022 di BRIN, tepatnya di Deputy Infrastruktur, Riset dan Inovasi yang berada di kawasan KST. Soekarno Cibinong Bogor.
Sebagaimana diketahui, bahwa pelaksanaan tender dilakukan pada 8 April 2022 lewat pengumuman dengan pascakualifikasi dengan HPS Rp 299.700.000.000. (Pengumuman No: PENG.TEND/030/POKJA/PL.01.O3/04/2022.
Setelah panitia (pokja) melakukan proses, maka pada 13 Mei 2022 ditetapkanlah pemenangnya (Pengumuman Pemenang No.PP/30/POKJA/PL.01.03/05/2023), yaitu PT BPR dengan harga Rp 298.950.750.000.
Ada beberapa perusahaan yang ikut peserta tender, di antaranya PT Transformasi Sejahtera Indonesia sekaligus menjadi penawar terendah. Namun digugurkan dengan alasan bahwasanya adanya penarikan surat dukungan.
Sedangkan PT. Rajawali Nusindo berada diurutan kedua dengan harga Rp.299.200.347.930, hingga beberapa peserta lainnya.
Melihat indikasi kuat adanya pengaturan, persekongkolan antara panitia (pokja), PPK dan pemenang tender, sehingga banyak pihak yang melaporkannya ke beberapa instansi terkait (termasuk beberapa LSM), namun hanya KPPU lah yang akhirnya melakukan penyelidikan/pemeriksaan dan itu pun atas derasnya desakan para pelapor.
Pada Mei 2024, KPPU mulai melakukan sidang yang melibatkan PT. BPR (terlapor I), PT MTI (terlapor II), Pokja dan PPK menjadi terlapor III dan IV.
Dalam persidangan, para terlapor terbukti melakukan berbagai tindakan pelanggaran (tidak jujur), artinya ada tindakan melawan aturan hukum.
Di antara temuan pelanggaran tersebut, adanya persekongkolan (kerja sama) untuk mengatur terkait spesifikasi alat yang akan ditentukan dalam dokumen (LDP) untuk memuluskan terlapor I sebagai pemenang.
Hal lain yang ditemukan sebagai pelanggaran adalah bahwa PPK sengaja menentukan hanya satu merk, yaitu Thermo dari perusahaan Fisher Scientific asal Amerika.
Terhadap pelanggaran yang ditemukan, maka terlapor I, II, III dan IV secara bersama sekongkol untuk meniadakan terjadinya persaingan sehat dalam pelelangan barang dan tentu saja merupakan pelanggaran terhadap UU Nomor 5 Tahun 1999 Pasal 22.
Hal yang tidak patut lagi bahwa panitia dan PPK melakukan klarifikasi terhadap PT. Transformasi Sejahtera Indonesia meski penawarannya masih diatas 80 persen dari HPS.
Dengan berbagai bukti ditemukan pelanggaran, maka majelis memutuskan bahwa PT BPR didenda sebesar Rp 1 miliar, sedangkan PT MTI dikenakan denda sebesar Rp.28 miliar yang harus segera disetorkan ke kas negara sesuai putusan majelis (inkracht).
Sementara itu, putusan KPPU juga memberikan rekomendasi kepada pembina kepegawaian/pejabat berwenang di BRIN untuk memberikan pembinaan alias tindakan sanksi kepada terlapor III (pokja) dan terlapor IV (PPK). Namun hingga kini, informasi yang diperoleh sama sekali belum ada tindakan apapun.
Publik pun terus mempertanyakan kelanjutan kasus ini, apakah pihak penegak hukum lainnya tidak diberikan rekomendasi (KPK, Kejaksaan, atau Polri) untuk mengusut indikasi korupsi.
Sebab dalam kontek pengadaan barang dan jasa milik pemerintah yang kerap dijadikan momentum melakukan korupsi termasuk suap atau gratifikasi.
Selain itu, hal yang juga dipertanyakan kenapa terhadap kedua perusahaan terlapor tidak dikenakan hukuman berupa black list? Semua ini akan terus menjadi pertanyaan publik hingga benar-benar adanya transparansi.
Comments