0
Oleh: Sri Radjasa M.BA

Antara Kepemimpinan Autentik dan Teater Kekuasaan

Sejarah Indonesia adalah kisah panjang tentang bagaimana kekuasaan sering kali menjelma menjadi panggung sandiwara. Dari masa kolonial hingga era reformasi, bangsa ini berulang kali menghadapi para pemimpin yang menjanjikan perubahan, namun justru menjerumuskan negeri ini ke dalam lingkaran setan kemunafikan politik.

Kini, setelah dua dekade lebih reformasi berjalan, kita menyaksikan wajah baru dari kekuasaan yang seolah bersih, merakyat, dan tegas, tetapi di baliknya menyembunyikan paradoks paling menyakitkan yaitu politik pura-pura.

Ketika rakyat berharap pada politik kebangsaan yang menegakkan keadilan dan kedaulatan, yang muncul justru ilusi demokrasi. “Reformasi” berubah menjadi ritual administratif, bukan transformasi moral.

Negara kehilangan arah karena kepemimpinannya kehilangan integritas. Yang tersisa hanya pencitraan, retorika kosong, dan kebijakan yang dikendalikan oleh kepentingan oligarki ekonomi.

Dalam satu dekade terakhir, sistem politik Indonesia seolah hidup dalam dunia simulakra yang digambarkan oleh Jean Baudrillard, dimana realitas disamarkan oleh representasi, hingga rakyat tak lagi tahu mana yang nyata dan mana yang palsu.

Warisan pemerintahan sebelumnya memperlihatkan bahwa demokrasi elektoral di Indonesia telah berubah menjadi arena manipulasi psikologis. Politik disulap menjadi hiburan massal. Pemimpin tampil bak selebritas, bukan negarawan.

Janji perubahan menjadi iklan, bukan komitmen. Dan rakyat, yang mestinya menjadi subjek, justru diposisikan sebagai konsumen politik, dipaksa membeli ilusi kesejahteraan yang tak pernah tiba.

Max Weber pernah menulis bahwa kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau kelompok untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, meskipun tanpa persetujuan mereka. Dalam konteks Indonesia, kekuasaan telah bergeser dari wewenang yang bermandat moral menjadi instrumen untuk menutupi kebobrokan sistemik.

BACA JUGA :  OPINI: Janji Rudi-Ade, Sebuah Penantian

Kekuasaan dijalankan bukan lagi untuk melindungi rakyat, melainkan untuk mempertahankan dominasi elite atas sumber daya negara.

Ketika korupsi dijustifikasi dengan jargon pembangunan dan penghianatan terhadap konstitusi dibungkus dalam narasi stabilitas nasional, maka kita sedang hidup dalam negara yang kehilangan jiwa etisnya.

Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto telah memperlihatkan bahwa simbolisme nasionalisme tidak cukup untuk membangkitkan martabat bangsa jika tidak diikuti oleh tindakan nyata membela kepentingan rakyat.

Retorika anti-korupsi tak lebih dari liturgi kekuasaan yang kehilangan makna ketika hukum masih tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Rakyat disuguhi drama politik yang semakin absurd, dimana seorang presiden yang memuji pendahulunya sebagai “guru politik”, di tengah kekecewaan publik terhadap warisan kebijakan yang menjerat bangsa dalam utang, ketimpangan ekonomi, dan krisis etika pemerintahan.

Fakta menunjukkan bahwa ketimpangan sosial di Indonesia semakin melebar. Data World Inequality Database (2024) mencatat, 1 persen penduduk terkaya menguasai hampir 45 persen kekayaan nasional, sementara 50 persen penduduk terbawah hanya memiliki 8 persen.

Korupsi masih merajalela, seperti yang disorot Transparency International, dengan skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia stagnan di angka 34, jauh di bawah rata-rata dunia.

Di sisi lain, kriminalisasi terhadap aktivis, mahasiswa, dan jurnalis kritis meningkat signifikan dalam setahun terakhir. Semua ini menandakan bahwa demokrasi prosedural yang kita banggakan hanya menyisakan bentuk tanpa substansi.

BACA JUGA :  Kualitas Ketua DPRD Kabupaten Bogor Patut Dipertanyakan

Bangsa ini tidak kekurangan pemimpin cerdas. Yang hilang adalah keberanian moral. Seperti diingatkan oleh filsuf Jerman, Friedrich Nietzsche, bahaya terbesar bagi suatu bangsa bukanlah kegilaan individu, melainkan kegilaan kolektif yang terselubung dalam kepatuhan terhadap tirani moral palsu. Indonesia kini terjebak dalam apa yang bisa disebut “rasionalitas pura-pura” yakni sebuah sistem yang tampak rasional secara birokratis, namun sejatinya irasional secara etis.

Kita membutuhkan kepemimpinan yang autentik yaitu pemimpin yang berani gila dalam makna filosofis, yakni nekat menegakkan kebenaran ketika seluruh sistem menuntut kepatuhan pada kebohongan.

Dalam tradisi pemikiran politik Timur maupun Barat, pemimpin sejati bukanlah mereka yang meniru suara massa, melainkan yang berani menantang arus demi kepentingan kebenaran.

Bung Karno pernah menegaskan, “Pemimpin besar adalah mereka yang sanggup melahirkan zaman.” Namun kini, kita justru menyaksikan pemimpin yang diciptakan oleh zaman manipulatif denga  pemimpin rakitan yang kehilangan arah moral dan keberanian ideologis.

Bangsa ini tak butuh presiden yang pura-pura gila dalam pidato, tapi pengecut dalam tindakan. Tidak butuh pemimpin yang berani berteriak tentang kedaulatan sambil berlutut di hadapan modal asing.

Tidak butuh pemimpin yang berkampanye dengan bahasa rakyat, lalu berkuasa dengan bahasa korporasi. Yang dibutuhkan adalah keberanian untuk berdiri di pihak rakyat kecil, meski harus melawan gelombang besar kekuasaan.

BACA JUGA :  OPINI: Janji Rudy-Ade, Sebuah Penantian

Politik berdikari, sebagaimana digagas Bung Karno adalah kunci untuk mengembalikan marwah bangsa. Berdikari bukan sekadar slogan, tetapi etos kepemimpinan yang menolak tunduk pada kekuatan eksternal, baik asing maupun oligarki dalam negeri.

Berdikari berarti berpikir dengan akal sendiri, berbuat dengan tenaga sendiri, dan berdiri di atas kaki sendiri. Tanpa itu, Indonesia hanya akan terus menjadi penonton di panggung global, terombang-ambing di antara kepentingan modal dan geopolitik yang lebih besar dari dirinya.

Kini saatnya rakyat Indonesia menagih kembali makna konstitusi, bahwa tujuan bernegara adalah “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.”

Tujuan itu hanya dapat dicapai bila negara dijalankan oleh kepemimpinan yang jujur secara moral dan konsisten secara ideologis. Rakyat sudah cukup sabar, tapi kesabaran itu bukan tanpa batas.

Bangsa ini hanya membutuhkan Presiden yang “gila” dalam keberanian membela rakyat, bukan yang berpura-pura gila untuk menutupi kegagalannya. Dibutuhkan pemimpin yang rela menanggung risiko demi menegakkan keadilan, bukan yang bersembunyi di balik pidato patriotik tanpa tindakan.

Karena sejatinya, keberanian bukan terletak pada retorika, melainkan pada kesetiaan kepada nurani bangsa.

Dan di tengah panggung politik yang semakin kabur antara realitas dan sandiwara, Indonesia kini dihadapkan pada pilihan moral yang paling mendasar yakni terus bertahan dalam kepemimpinan pura-pura, atau berani melahirkan kembali pemimpin sejati yang waras dalam berpikir namun “gila” dalam keberanian menegakkan kebenaran.

Penulis adalah: Pemerhati Intelijen

You may also like

Comments

Comments are closed.

More in Opini