0

ACEH SINGKIL, INDONEWS | Dewan Pengurus Wilayah Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Anti Korupsi (DPW Alamp Aksi) Provinsi Aceh mendesak Gubernur Aceh untuk memanggil dan meminta pertanggung jawaban terkait beberapa masalah di HGU PT. Nafasindo Aceh Singkil.

Desakan itu dilakukan saat DPW ALAMP menggelar aksi unjuk rasa di halaman Kantor Gubernur Aceh, pada 12 September 2025 lalu.

“Jangan ada permainan Pemprov Aceh. Hukum harus ditegakkan! Ayo merdekakan rakyat dari penjajahan berkedok perusahaan perkebunan,” ujar koordinator lapangan (Korlap), Rahman SH didampingi Koordinatot Aksi, Musda Yusuf.

Dalam orasinya itu, Alamp menduga adanya permainan dibalik perpanjangan izin PT, sehingga mereka meminta Gubernur Aceh H. Muzakkir Manaf atau Muallim untuk menampakkan kekuatannya berkaitan dengan janji kepada masyarakat Aceh dalam permasalahan HGU.

“Ayo lakukan pengukuran ulang, menuntaskan permasalahan yang berbelit-belit di Kabupaten Aceh Singkil tercinta ini. Kami juga tidak mau ini menjadi modal para hidung belang untuk memakmurkan suatu kelompok tertentu sehingga masyarakat sekitar masih merasakan konflik dengan perusahaan yang tak kunjung berakhir ini,” kata Rahman.

Ia menerangkan, tujuan aksi di Kantor Gubernur Aceh ini untuk menuntut penolakan pemberian izin lokasi PT Nafasindo Aceh Singkil dengan mendesak Gubernur Aceh segera mencabut segala bentuk izin perkebunan PT. Nafasindo di Aceh Singkil.

“Kami juga meminta pertanggungjawaban terkait jebolnya kolam limbah PT Nafasindo yang terjadi dalam minggu ini. Tak cukup disitu, kami juga mendesak PT. Nafasindo agar segera mengembalikan seluruh hasil perkebunan sejak 12 Mei 2023 kepada negara, karena sejak tanggal tersebut izin HGU PT. Nafasindo telah habis,” ujarnya.

BACA JUGA :  Festival Bungong Jeumpa MeriahKan Suasana Jelang HUT RI Ke-80

Pihaknya menduga PT. Nafasindo Kabupaten Aceh Singkil telah melanggar Undang-Undang. Yang mana menurut informasi yang Alamp Aksi peroleh, izin HGU PT. Nafasindo telah berakhir pada 11 Mei 2023.

“Namun diduga kuat sampai saat ini izin HGU tersebut belum diperpanjang. Parahnya lagi, hingga saat ini PT. Nafasindo diduga masih melakukan aktivitas perkebunannya di lahan seluas 3007 Ha. Dengan tidak adanya izin HGU, tentunya patut diduga bahwa semua kegiatan perkebunan yang dilakukan oleh PT. Nafasindo adalah ilegal,” paparnya.

Ia menambahkan, permasalahan ini telah dibawa sampai ke ranah Rapat Dengar Pendapat antara pihak DPRK Aceh Singkil dengan PT. Nafasindo pada 20 Mei 2025.

“Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah keputusan bahwa PT. Nafasindo dilarang melakukan aktivitas perkebunan. Namun nampaknya pihak PT. Nafasindo mengabaikan hasil rapat tersebut,” terangnya.

Pada 6 September, imbuh  Rahman, terjadi peristiwa jebolnya kolam limbah milik PT Nafasindo. Luapan limbah tersebut mengalir ke aliran sungai Lae Gombar dan mencemari lingkungan sekitar.

Akibatnya, banyak ikan ditemukan mati di perairan Lae Gombar, sehingga menimbulkan bau tidak sedap dan meresahkan warga. Kondisi ini membuat aktivitas nelayan terhenti karena sungai tidak lagi bisa dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan.

BACA JUGA :  Kapolres Bireuen Pastikan Jalur Mudik Lancar, Personel Gabungan Siaga 24 Jam

“Tidak hanya itu, masyarakat sekitar yang biasanya bergantung pada sungai untuk kebutuhan sehari-hari juga terpaksa menghentikan aktivitas mereka,” kata Rahman.

Kemudian di dalam Permentan No 26 Tahun 2007 pasal 11 tentang kewajiban membangun kebun untuk masyarakat sekitar, paling rendah seluas 20 persen dari total luas areal kebun yang diusahakan. Kemudian adapun regulasi hukum terkait kewajiban  plasma 20 persen ini juga diatur dalam Permentan No. 98 Tahun 2013 dan Permen Kepala ATR No.7 Tahun 2017, PP 44/1997 tentang Kemitraan, Permentan 26/2007 tentang Pedoman perizinan usaha perkebunan dan Permen Agraria/ Kepala BPN nomor  2/1999 tentang izin lokasi.

“Namun mirisnya, pihak PT Nafasindo nampaknya mengangkangi semua ini. Sementara selama ini persoalan kebun plasma 20% tak pernah direalisasikan. Sehingga dapat dikatakan selama ini perusahaan itu sudah mengabaikan kewajibannya sebagaimana aturan, belum lagi pengelolaan CSR yang diwajibkan dalam undang-undang juga selama ini tak transparan dan tak jelas manfaatnya kepada masyarakat,” papar Rahman.

Ia menjelaskan, dalam UU Perkebunan No. 39 tahun 2014, diwajibkan perusahaan mengikuti standar pembangunan kebun kelapa sawit yang berkelanjutan dengan mengikuti ketentuan peraturan dan perundang-undangan di Indonesia, yakni perusahaan perkebunan wajib memperhatikan faktor sosial, ekonomi, dan lingkungan.

BACA JUGA :  Tim Gabungan di Lampura Berpatroli, Sisir Lokasi Rawan Gangguan

“Faktanya sangat sedikit putra-putri Aceh Singkil yang bekerja secara tetap di perusahaan tersebut selama ini, seakan putra putri Aceh Singkil hanya dipakai untuk buruh harian lepas (BHL), padahal mereka ber tahun-tahun  mengambil keuntungan di daerah kita,” ujar Rahman.

Padahal, sambung dia, sebagaimana amanat dari Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

“Melihat kondisi itu, kami menilai Presiden RI melalui kepala BKPM untuk tidak memperpanjang izin HGU Perkebunan PT Nafasindo Aceh Singkil. Sebenarnya, persoalan ini seharusnya dipertegas dalam rapat komisi VI DPR RI dengan mitranya Kepala BKPM yang memiliki wewenang untuk mencabut izin HGU tersebut,” katanya.

“Namun mirisnya selama ini anggota DPR RI Komisi VI DPR RI dari Aceh banyak tidur dari pada jaga, banyak tidak peduli dan hanya butuh masyarakat ketika pemilu saja, sehingga persoalan yang dialami masyarakat Aceh Singkil ini tak pernah disuarakan sama sekali,” tambahnya.

“Jika penanganan Gubernur Aceh ini lemah, maka kami akan melakukan aksi unjuk rasa untuk beberapa hari kedepannya,” tutup Rahman pada orasinya dengan berapi-api. ***

You may also like

Comments

Comments are closed.