0

Polda Aceh Diminta Turun Tangan!

ABDYA, INDONEWS –Sudah saatnya Polda Aceh turun tangan. Kasus galian C ilegal di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya) bukan sekadar pelanggaran izin tambang, melainkan potret nyata matinya moral hukum di daerah.

Aktivitas penggalian batu gajah di Desa Kuta Jeumpa, Kecamatan Jeumpa, diduga dilakukan secara terang-terangan tanpa izin resmi, namun anehnya tak tersentuh penegakan hukum.

Lebih ironis, material hasil tambang ilegal itu disebut digunakan dalam proyek pembangunan breakwater di Desa Panjang Baru, Kecamatan Susoh, yang dibiayai dari APBN. Negara dengan anggaran triliunan rupiah justru memakai hasil kejahatan lingkungan.

Koordinator LSM Koalisi Masyarakat Pejuang Keadilan (KOMPAK), Saharuddin, menilai situasi ini sebagai pelecehan terhadap prinsip keadilan sosial dan hukum.

“Proyek pemerintah seharusnya menjadi contoh kepatuhan hukum, bukan justru memakai hasil kejahatan lingkungan,” tegasnya, Kamis, 9 September 2025.

Ia menambahkan, pembiaran terhadap aktivitas tambang ilegal itu menunjukkan matinya nurani aparat di tingkat lokal. Hukum tampak hanya berani menekan rakyat kecil, tapi lumpuh di hadapan pemilik kekuasaan dan kepentingan politik.

BACA JUGA :  Dampak Pencemaran Lingkungan Dari Tenggelamnya KIP 11, Begini Kata Humas PT. Timah

Yang membuat publik semakin geram, muncul dugaan bahwa rekanan proyek tersebut memiliki hubungan keluarga dengan salah satu anggota DPR RI. Dugaan inilah yang disebut menjadi alasan di balik sikap diam aparat penegak hukum.

“Kalau benar ada hubungan darah dengan pejabat pusat, apakah hukum harus berhenti bekerja? Ini Aceh, bukan kerajaan,” sindir Saharuddin.

Ucapannya menohok, karena menggambarkan wajah klasik penegakan hukum yang tajam ke bawah tapi tumpul ke atas. Ketika kekuasaan dijadikan perisai bagi pelanggaran, yang tersisa hanyalah negara yang tunduk pada relasi, bukan pada hukum.

Tambang batu gajah ilegal itu bukan hanya persoalan izin administratif, melainkan kejahatan ekologis yang nyata. Penggalian tanpa kajian lingkungan berpotensi merusak aliran sungai, memicu banjir, dan menghancurkan sumber kehidupan masyarakat sekitar.

“Batu itu diambil tanpa izin, tanpa tanggung jawab. Ketika bencana datang, yang menanggung rakyat kecil. Pejabatnya tetap aman, proyeknya tetap jalan,” ujar Saharuddin.

Menurutnya, pembiaran seperti ini mencerminkan ketidakadilan struktural, dimana kekuasaan digunakan untuk melindungi pelaku ekonomi kuat, sementara rakyat dan lingkungan dibiarkan menanggung kerusakan.

BACA JUGA :  FPMPA: Banda Aceh Kota Hebat di Indonesia Dalam Pembangunan Manusia

Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 33 UUD 1945 telah menegaskan bahwa hukum berlaku sama bagi semua dan sumber daya alam digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Tapi di Abdya, dua prinsip itu seolah hanya jadi kalimat mati di atas kertas. Yang berlaku justru hukum selektif, berpihak pada kepentingan dan relasi. Dalam konteks ini, KOMPAK dengan tegas mendesak Kapolda Aceh turun langsung memimpin penindakan.

Tidak cukup dengan imbauan atau penyelidikan administratif. Kapolda harus menghentikan seluruh aktivitas tambang ilegal, menangkap pelaku di lapangan, dan menindak siapapun di balik layar, termasuk jika ada aparat atau pejabat yang bermain mata.

“Kapolda Aceh harus membuktikan bahwa hukum tidak bisa dibeli oleh kekuasaan atau relasi politik. Jika tidak, maka kepercayaan publik terhadap kepolisian akan runtuh,” kata Saharuddin.

Ia menegaskan, KOMPAK akan membawa kasus ini ke Mabes Polri dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) jika penegakan hukum di Aceh terus mandek.

Kasus Abdya bukan hanya soal tambang, tetapi soal keberanian negara menegakkan keadilan di tengah tekanan kekuasaan.

BACA JUGA :  Kadinkes Peusijuk 16 Calon Jamaah Haji

Jika kepolisian terus bungkam, publik tahu siapa yang diuntungkan dan siapa yang dikorbankan. Batu-batu hasil kejahatan lingkungan itu terus diangkut setiap hari untuk membangun proyek negara yang mestinya berdiri di atas hukum, bukan di atas pelanggaran.

Diamnya aparat sama saja dengan ikut menjadi bagian dari kejahatan itu sendiri. Sudah cukup Aceh menjadi panggung bagi hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Kini publik menuntut satu hal yang jelas bahwa Kapolda Aceh, turun tanganlah, sebelum keadilan benar-benar mati di tangan kekuasaan. ***

You may also like

Comments

Comments are closed.